Hukum Pernikahan Pasca Murtadnya Suami
Pendahuluan
Syariat Islam yang berpondasi kepada Al’quran dan Hadist, dalam penerapanya sangat fokus kepada lima
perkara yaitu penjagaan terhadap jiwa, agama, harta, akal, dan
ketrurunan (nasab). Pernikahan, dalam hal ini sangat sinkron atas tujuan
syariat tersebut. karena dengan menikah unsur penjagaan terhadap jiwa,
nasab, dan agama telah terimplementasikan. Maka Alqur’an dan hadist
dalam pernikahan, secara komprehensiv juga memberikan aturan main kepada
pemeluknya agar tujuan syariah tersebut tercapai. Diantaranya larangan
bagi wanita untuk menikah dengan pria non-muslim. Dalam qur’an surah Al
Baqoroh ayat 221 ditegaskan :
Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih
baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka sedangkan Allah mengajak ke sorga da ampunan dengan izin-Nya.
Dari
keterangan ayat di atas, subjek pelarangan wanita muslim untuk menikah
dengan pria non muslim adalah untuk penjagaan terhadap agama, karena
pada hakikatnya sang istri harus patuh kepada suami, ditakutkan nantinya
sang istri yang akan terbawa pada agama suami, dan fenomena inilah yang
seringkali kita saksikan. Hal kedua adalah penjagaan nasab ataupun
keturunan, diharapkan dari pernikahan dalam Islam adalah untuk
menghasilkan keturunan yang mampu menjaga izzah Islam. Namun kemungkinan
tersebut sangatlah tipis bila sang ayah adalah seorang non-muslim.
Ironisnya, saat ini timbul sebuah fenomena dimana untuk melangsungkan pernikahan yang sah secara hukum di Indonesia.
Pihak calon suami yang non-muslim menjadi mualaf agar bisa diterima
akadnya. Namun dalam jangka waktu tertentu sang suami pasca pernikahan
kembali murtad dan kembali aktif pada ritual agamanya yang semula. Dari
sini timbullah pertanyaan, bagaimana hukum pernikahanya? Apa saja
hak-hak yang dimiliki baik istri ataupun suami pasca murtadnya suami?
hal ini akan kita rinci secara detail.
Pengertian “Murtad” dan Hukumnya Dalam Islam
Kata
murtad berasal dari kata riddah dalam islam yang artinya berpindah,
terminologi ini kemudian secara konteksnya bermakna keluar dari Islam.
Maka bagi mereka yang keluar dari agama Islam dikatakan sebagai kaum
murtad. di dalam syariat Islam, menjadi kafir setelah sebelumnya memeluk
agama Islam, bukan perkara sederhana. orang yang murtad itu sudah
dipastikan masuk neraka dan tidak akan keluar lagi dari situ
selama-lamanya. Kecuali bila dia sempat bertaubat dan kembali ke
pangkuan Islam sebelum matinya. Bukan itu saja, bahkan semua amal
baiknya selama sempat menjadi muslim akan musnah, seolah dia tidak
pernah melakukan hal-hal yang baik. Shalat, puasa, zakat, haji dan semua
ibadahnya menjadi hilang pahalanya. Hal itu bukan karangan ulama atau
pendapat manusia, melainkan ketetapan yang terang dari Allah SWT
langsung:
Barangsiapa
yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
(QS. Al-Baqarah: 217)
Alangkah
rugi dan sia-sia hidup seorang yang murtad dari Islam. Boleh dibilang
lebih tidak usah jadi manusia saja ketimbang sempat menjadi orang yang
murtad. Lebih baik menjadi tanah yang tidak perlu
mempertanggung-jawabkan semua yang telah dilakukan.
Ayat
di atas berbicara tentang resiko yang harus ditanggung oleh seorang
yang murtad dari sisi ukhrawi, namun hal itu belum cukup. Ternyata
secara hukum duniawi, Allah SWT pun menetapkan hukuman buat orang yang
mempermainkan agama Islam, yaitu dengan dihalalkannya darah orang yang
murtad. Rasulullah SAW bersabda:
Tidak
halal darah seorang muslim yang bersaksi tidak ada tuhan kecuali Allah
dan bahwa Aku utusan Allah, karena tiga alasan: Orang yang berzina,
orang yang membunuh dan orang yang murtad yang lari dari jamaah. (HR.
Muslim)
Dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Orang yang menyalahi agamanya dengan agama Islam (murtad), maka penggallah lehernya." (HR At-Thabarani)
Dari
Jabir ra. bahwa seorang wanita bernama Ummu Marwan telah murtad, maka
Rasulullah SAW memerintahkan untuk menawarkan kembali Islam kepadanya, bila dia tobat maka diampuni tapi bila menolak maka wajib dibunuh. Ternyata dia menolak kembali ke Islam maka dibunuhlah wanita itu.(HR Ad-Daruquthuny dan Al-Baihaqi).
Rasulullah SAW juga pernah berpesan kepada Mu’az bin Jabal sebelum berangkat ke Yaman: "Siapa
pun laki-laki yang murtad dari Islam, maka mintalah mereka untuk
kembali. Bila mau maka bebas hukuman dan bila menolak maka penggallah
leher mereka. Siapa pun wanita yang murtad dari Islam, maka mintalah
mereka untuk kembali. Bila mau maka bebas hukuman dan bila menolak maka
penggallah leher mereka."
Ketika
mendengar ada kelompok masyarakat arab yang ingkar tidak mau membayar
zakat serta murtad, maka Abu Bakar As-Shiddiq ra menyatakan perang
terhadap mereka. Ini adalah keputusan yang beliu ambil secara yakin
meski pada dasarnya perangai beliau lembut, ramah dan penyayang. Namun
karena memang demikianlah ketentuan Allah SWT terhadap para pembangkan,
maka apa boleh buat, syariat harus ditegakkan.
Apa yang dilakukan oleh beliau juga didukung oleh seluruh lapisan shahabat Rasulullah SAW radhiyallaahu ‘anhum. Sehingga hukuman mati buat orang murtad merupakan ijma’ seluruh umat Islam.
Al-Baihaqi
dan Ad-Daruquthuny meriwayatkan bahwa Abu Bakar ra meminta seorang
wanita bernama Ummu Qurfah untuk kembali dari kemurtadannya (istitabah),
di mana sebelumnya telah kafir dari keIslamannya, namun wanita itu
menolak, maka beliau membunuhnya. Kesimpulanya, amat disayangkan bagi
para murtadin atas perbuatan mereka, semua amal ibadah yang pernah
mereka lakukan menjadi musnah, dan apabila mereka tidak bertaubat maka
secara syar’i mereka sebenarnya layak untuk dibunuh karena hakikat dari
pemurtadan itu sendiri adalah pengkhianatan.
Status Pernikahan Pasca Murtadnya Suami
Secara
logika, perbuatan murtad sendiri adalah perbuatan tidak syar’i yang
membawa diri sendiri pada kebinasaan. Sementara dari sisi lain,
pernikahan dalam Islam adalah hal mulia yang disunahkan oleh nabi untuk
menjaga tujuan-tujuan syariat Islam, tentunya dengan aturan-aturan yang
syar’i juga. Maka tidak akan sinkron bila hal yang ditentang oleh agama
digabungkan dengan perkara yang dianjurkan dalam qur’an dan sunnah.
Selanjutnya,
merujuk kepada Alqur’an, hadist, dan perkataan para ulama, hukum
pernikahan suami istri tersebut masih sah, namun pasca murtadnya sang
suami maka secara otomatis status pernikahan itu terhenti atau dalam
istilah fikih dinamakan “faskhu ta’qiit”, yaitu status pembekuan
pernikahan karena hal yang diharamkan oleh agama. Dalam hal ini, Imam
besar Ibnu taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim menegaskan bahwa bila
pihak suami ataupun istri yang murtad maka status pernikahanya dibekukan
hingga sang murtad mau kembali ke dalam Islam, namun bila dia tegas
tidak mau kembali maka saat itu juga akad pernikahanya dianggap akad
yang rusak dan harus cerai. Ada pendapat lain yang lebih keras dari
pendapat imam Ibnu Taymiyyah, yaitu pendapat imam Abu hanifah dan imam
Malik yang mengatakan bahwa akad nikah menjadi batal saat itu juga
ketika status murtad benar-benar terjadi dan tidak ada alasan bagi
mereka untuk tetap bersatu,. Sementara Imam AsySyafi’i dan imam Hanbali
mengatakan bahwa apabila murtadnya suami terjadi sebelum bersetubuh maka
akadnya batal saat itu juga, namun bila murtad itu terjadi setelah
bersetubuh maka perceraian ditangguhkan hingga masa iddahnya habis yaitu
tiga bulan (3 kali suci dari haid). Apabila dia kembali muslim sebelum
masa iddahnya habis maka status pernikahanya tetap sah, namun apabila
setelah masa iddah sang suami masih dalam keadaan murtad maka baginya
harus berpisah saat itu juga dari suaminya.
Hukum di atas semuanya bersumber dari dalil-dalil sebagai berikut :
Ayat 10 surah al-Mumtahanah :"Hai orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu
uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka:
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu
tidak halal pula bagi mereka (muslimah). Dan berikanlah kepada (suami)
mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini
mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka
meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang
ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
Ayat
221 surah al-Baqarah "Dan janganlah kamu meikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke sorga da ampunan
dengan izin-Nya. Meskipun
ayat-ayat tersebut berbicara dalam konteks orang musyrik, namun karena
alasan pelarangan yang cukup jelas, yaitu mereka akan mengajak ke
neraka, maka ini menunjukkan berlaku pada semua non muslim, terlebih
yang murtad. Dalam kondisi muslimah menjadi isteri non muslim,
dikhawatirkan akan menyebabkan muslimah meninggalkan agamanya, atau
paling tidak menyebabkannya tidak bisa mengamalkan agamanya, karena
kebanyak pernikahan sarat dengan nilai agama, dan kecenderungan
perempuan mengikuti suaminya. Demikian juga, jelas bahwa pernikahan
muslimah dengan Nasrani tidak sah menurut pandangan hukum Islam.
Imam
Abu Hanifah menganalogikan status pernikahan dengan murtad adalah sama
halnya menikah dengan orang mati, karena hukuman murtad adalah kematian.
Dan dalam Islam haram hukumnya menikah dengan yang tidak hidup. Imam
Abu Zahroh dalam kitabnya menegaskan bahwa perbuatan yang disyariatkan
Islam bila digabungkan dengan perihal haram maka rusaklah perbuatan
tersebut. sama halnya dalam pernikahan. Nikah merupakan perkara sunah,
namun perkara sunnah tersebut tidak akan berdiri tanpa elemen-elemen
yang halal. Secara tak langsung, elemen-elemen halal tersebut menjadi
wajib untuk menjadikan nikah menjadi sah dalam kacamata syariah. Maka,
apabila nikah yang hukumnya sunah ditopang oleh elemen yang diharamkan,
bubarlah perkara pernikahan tersebut.
Tujuan
berdirinya Syariat islam adalah untuk menjadi regulasi perbuatan
manusia agar tidak berbuat seenaknya. Salah satu subjeknya juga adalah
untuk menjaga keturunan ataupun nasab. Maksudnya adalah, agar dengan
pernikahan yang sesuai dengan aturan syariat islam diharapkan
menumbuhkan generasi muslim yang akan menjaga keagungan Islam.
Logikanya, anak-anak akan menuruti bimbingan orang tuanya. Namun bila
orangtuanya memiliki dua agama berbeda, terlebih dalam kasus ini ayahnya
adalah non muslim maka akan menimbulkan kebingungan bagi sang anak
untuk memilih, apalagi bila pondasi pengetahuan agama sang ibu sangat
minim. Akan menimbulkan kecenderungan sang anak akan lebih condong pada
sang ayah.
Dari
penuturan di atas, akhirnya kita berujung pada satu kongklusi bahwa
pernikahan dengan akad yang sah antara dua muslim akan berubah menjadi
haram hukumnya bila sang suami menjadi murtad. Bagi kedua pihak wajib
menghentikan status pernikahanya saat itu juga merujuk kepada pendapat
sebagian besar ulama terutama imam Abu Hanifah. Dan bagi sang istri agar
mengembalikan mahar yang diberikan sang suami kepadanya saat akad
pertama ataupun dengan nominal yang seharga dengan mahar tersebut. Akad
pernikahan hukumnya menjadi rusak dan wajib cerai setelahnya.
Catatan :
Akhir-akhir
ini marak terjadi Konspirasi Pemurtadan dan ini adalah salah satu
analisa yang sulit dibantah, perkawinan campur atau beda agama ini
ternyata merupakan bagian dari program pemurtadan umat Islam. Kesulitan
mengalahkan umat Islam dengan senjata, orang kafir menyerang lewat
pernikahan campuran. Begitu banyak pemuda Islam yang dirayu oleh pemudi
dari agama yang berbeda. Dan lebih banyak lagi pemudi Islam yang dirayu
oleh para pemuda kafir. Sehingga mereka jatuh cinta, lalu menikah secara
tidak sah dalam pandangan agama. Pola ini sudah terdeteksi jauh sebelum
negeri ini merdeka. Sejak zaman penjajahan dulu. Sehingga lahirlah
kemudian generasi yang ayah dan ibunya berlainan agama. Maka tarik
menarik jilid dua terjadi. Yang paling moderat adalah anak dibebaskan
mau pilih agama apa saja. Terserah mereka tentunya. Boleh ikut agama
ayah dan boleh ikut agama ibu. Persis seperti memilih partai dalam
pemilu. Atau pemilihan kepala desa. Tapi yang lebih sering terjadi,
pasangan dari agama lain justru lebih intensif dalam menggarap masalah
agama anak-anak. Maka dalam waktu singkat, Indonesia mengalami kemerosotan tajam dalam jumlah perbandingan pemeluk agama.
Na’udzubillah min dzalik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar